Oleh : Moh. Solikin
Kadang kita sering dihadapkan pada suatu keadaan yang kontroversial atau berlawanan dalam kehidupan sehari-hari yang keduanya sebenarnya tidak benar-benar terlalu berbeda secara menyolok. Sekalipun kita menyadari posisi pilihan kita, acapkali kita tersadar bahwa ternyata pilihan yang kita ambil tersebut teramat dekat dengan kondisi yang berbeda di sebelah kita. Kita merasa tidak benar-benar aman dengan pilihan kita yang sewaktu-waktu tergelincir pada posisi pilihan yang berbeda atau berlawanan. Paling tidak dalam penilaian orang terhadap apa yang kita lakukan.
Kondisi di atas sebenarnya memperlihat-kan betapa terdapat perbedaan yang tipis antara 2 hal yang seringkali kita pahami atas 2 keadaan yang baru kemudian disadari nampak tidak terlalu terdapat perlawanan. Oleh karena itu, ungkapan yang menggambarkan kondisi di atas disebut dengan “beda tipis“. Disebut beda karena memang keduanya berada dalam 2 rasa dan keadaan yang berbeda, namun perbedaan itu terlalu tipis untuk dikatakan berbeda karena orang bisa jadi memberikan penilaian dari apa yang sebenarnya terlihat oleh mata atau dicermati dengan panca indera lainnya.
Beberapa fenomena yang seringkali kita jumpai atau bahkan pernah kita alami memperlihatkan perbedaan yang tipis dari 2 kondisi yang sebenarnya berbeda tersebut. Seperti halnya perbedaan antara ‘kritikan’ dan sikap ‘sirik’. Sebuah kritikan yang tajam kepada seseorang hampir saja mirip dengan perbuatan seseorang yang karena tidak senang dan tidak rela atas keadaan orang lain. Kritikan membabi buta kepada seseorang hampir tidak jauh berbeda dengan ungkapan yang menunjukkan ketidaksukaan seseorang atas orang lain yang dikritik. Sikap yang memperlihatkan ketidaksukaan tersebut sebenarnya dapat dikategorikan sebagai sikap ‘sirik’. Karena itu kadang susah mengatakan apakah seseorang itu sedang melakukan kritik atau sebaliknya sebenarnya yang bersangkutan sedang sirik.
Demikian pula dalam kasus lain, beda tipis antara ‘jenius’ dan ‘gila’. Seseorang yang dikatakan jenius seringkali berperilaku di luar kelaziman. Karena itu, disebutlah ia gila. Dalam kondisi demikian masyarakat tidak mudah menerima cara berfikir dan bersikap orang yang disebut jenius tersebut sehingga wajar yang bersangkutan dikatakan gila. Sebuah kasus bisa diambil contoh, seseorang yang dicap ber-IQ tinggi di Inggris beberapa waktu yang lalu dan memang dikenal sebagai jenius, ternyata melakukan suatu tindakan di luar kebiasaan pada umumnya yaitu mengoleksi 28 mayat yang baru diketahui sekian tahun kemudian untuk kepentingan hobinya.
Kemudian beda tipis pula antara orang yang ‘loyal’ dan ‘tanpa inisiatif’. Orang biasanya ingin menunjukkan keloyalannya dengan mengurangi aktivitas yang agresif, sehingga nampak diam dan pasif. Sementara dengan cara demikian orang yang loyal, akhirnya minim aktivitas dan praktis tanpa ada inisiatif. Diamnya orang loyal memang bisa jadi karena takut atau memang benar ingin memperlihatkan keloyalannya. Seorang anak kecil karena kepingin disebut nurut sama orang tua, maka dia diam dan berusaha menunjukkan muka manis. Ada lagi bebe-rapa contoh lain seperti beda tipis antara kreatif dan curang, akomodatif dan tak berpendirian, bersikap fleksibel dan munafik, cerdas dan licik, dan sebagainya, dan seterusnya masih banyak lagi. Dari beberapa contoh di atas, sumber masalah munculnya situasi yang memperlihatkan beda tipis tersebut ternyata disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran kita dan orang bersangkutan dalam menerima pesan yang kita dapatkan maupun bagaimana memberikan kesan dari suatu keadaan yang kita peroleh. Bagi orang yang dikatakan jenius, cara-cara gila yang mereka lakukan adalah hal biasa saja bagi dirinya. Namun orang lain akan melihatnya berbeda, karena cara itu menunjukkan bentuk ketidakwarasannya. Orang yang suka mengkritik, bisa saja dipersepsi sebagai orang sirik, padahal yang bersangkutan tidak menganggapnya ada apa-apa. Demikian pula orang yang loyal, karena dengan tulus berusaha menjaga kesetiaannya maka solidaritasnya menjadikan yang bersangkutan diam dan tidak melakukan apa-apa.
Itulah sebuah kesan yang belum tentu mampu memaknai pesan dengan benar. Karena pemilik pesan itulah yang sejatinya tahu apa maksud dari pada pesan sebenarnya. Maka sebaiknya memang harus berhati-hati. Apalagi saat sekarang “beda jauh” pun akan terasa tipis dan makin susah untuk melakukan pemilahan, hitam nampak putih dan putih terasa abu-abu. Tapi, itu semua terserah anda (*)