Realitas partisipasi perempuan Indonesia dalam berpolitik tergolong masih sangat rendah. Hal itu terlihat dari tingkat keterwakilan perempuan di parlemen, lembaga-lembaga tinggi negara, pemerintah, partai politik termasuk di organisasi publik lainnya yang masih minim.
Kondisi ini dipercaya oleh para pejuang perempuan berimplikasi langsung pada kebijakan-kebijakan negara yang cenderung(kurang) mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan. Jumlah keterwakilan yang rendah juga sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan sebuah keputusan.
Barangkali, banyak perempuan Indonesia masih menganut filosofi yang menabukan perempuan menjadi politisi. Filosofi itu barangkali ada benarnya juga. Pasalnya, di masa perjuangan dulu (pergerakan Kemerdekaan) banyak tokoh-tokoh pejuang yang notabenenya adalah laki-laki. Meski ada juga tokoh perempuan namun jumlahnya tidak banyak. Masih bisa dihitung dengan jari
Berdasarkan realita tersebut, maka dipandang perlu ada kebijakan khusus untuk mendukung kaum perempuan agar mau terjun kepolitik. Hal itu karena starta antara perempuan dan laki-laki yang sudah berbeda. Kondisi laki-laki dalam realitas sosial, budaya dan politik juga berbeda. Disamping pertimbangan tersebut, bagi aktivis perempuan dan ahli politik perempuan, memandang jumlah juga penting untuk memudahkan sebuah isu dapat diperjuangkan.
Perubahan akan mungkin dilakukan dengan jumlah keterwakilan perempuan yang memadai. Alasan itulah yang kemudian dinyatakan bahwa untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dapat dipercepat dengan tindakan affirmative action sebagai kebijakan strategis yang legal dalam Undang-undang.
Berbeda dengan di negara-negara maju baik di Eropa maupun Amerika yang banyak dijumpai politisi perempuan yang mewarnai parlemen. Seperti Alina Kabaeva (Rusia), Mara Rosaria Carfagna (Italia), Yuri Fujikawa (Jepang), Belinda Stronach (Kanada), Emma Kiernan, Eva Kaili (Yunani), Luciana Leon (Peru), Yulia Tymoshenko (Ukraina) dan Rubby Dhalla (Kanada).
Sejak Pemilu 2009 lalu, mulailah bermunculan politisi perempuan di kancah politik Indonesia.Sebut saja Angelina Sondakh, Vena Melinda, Rieke Diah Pitaloka, Wanda hamidah dan sebagainya. Kini, dalam Undang-undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 Pasal55 disebutkan bahwa daftarbakalcalonlegislative memuat paling sedikit 30% (tigapuluhpersen) keterwakilanperempuan.Bila dalam daerahpemilihan (Dapil) itu tidak memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan, maka Partai Politik yang bersangkutan terancam tidak memiliki calon egislatifnya.
Mengapa hanya 30 %, kok tidak 20%, atau 50%, bahkan 100% pun kalaumemang mampu mengapa tidak? Memang terkesan minta-minta belas kasihan.Ya begitulah bunyi Undang-Undang Pemilu yang disahkan DPR. Para politisi Senayan barangkali memiliki argumentasi yang sangat teliti dan jlimet untuk mengetok palu di angka 30 persen itu.
Sebenarnya yang menjadi pertanyaan menarik adalah mengapa harus menyebut angka 30 persen. Contoh, dalam UUD 1945 pun tidak menyebut politisi harus laki-laki. Laki-laki dan perempuan sebetulnya sama kedudukannya dalam bidang apapun, termasuk menjadi politisi. Kalau dalam prakteknya sangat minim ditemui politisi perempuan sebenarnya jawabannya terletak pada perempuan itu sendiri.
Urgensi kelembagaan pemberdayaan perempuan tetap diperlukan karena kondisi kaum perempuan di Indonesia masih memprihatinkan dan memerlukan lembaga yang setiap saat dapat memperjuangkan nasib kaum perempuan. Seperti adanya KPPI danKowani.
Tidak dapat dipungkiri bahwa memperjuangkan isu-isu perempuan di lembaga seperti parlemen adalah sangat penting dan memang pada dasarnya banyak sekali undang-undang yang masih bias gender. Misalnya UUKesehatan, UU Perkawinan, UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk, UU Otonomi Daerah,UU Tenaga Kerja, UU Sisdiknas, UU Kependudukan, Revisi KUHP, UU Buruh Migran,UU Pornografi dan Pornoaksi, UU PerlindunganAnak dan UU Lingkungan Hidup. Karenanya banyak undang-undang yang harus diamandemen.
Kuota hanyalah kebijakan sementara dan merupakan koreksi dan konpensasi dari perlakuan diskriminatif terhadap perempuan yang berakibat pada tidak terwujudnya “de-factoequality” seperti dijamin oleh UU Dasar 1945. Atas dasar pertimbangan tersebut maka diperlukan semua pihak untuk memahami kondisi yang sangat berbeda yang dialami perempuan dalam posisi politik.(*)